Minggu, 23 Maret 2014

Lubang dari Separuh Langit

Judul: Lubang dari Separuh Langit
Penulis: Afrizal Malna
Penerbit: AKYPRESS
Tahun: 2004, cetakan II
Tebal: xi + 151 hal


Pasti bukan karena latah atau ikut-ikutan para seniornya - Ahmad Tohari, Romo Mangun, PAT, Umar Kayam - Afrizal Malna menulis sebuah novel tentang kaum urban miskin yang hidup di sepanjang bantaran sungai di Jakarta. Kisah mereka yang terpinggirkan ini tampaknya akan selalu menarik diangkat ke dalam karya sastra (novel, cerpen, puisi). Kehidupan kaum papa senantiasa menyentuh nurani siapa saja yang masih memiliki kepedulian dan cinta kasih sesama. Terlebih lagi bagi para sastrawan dengan jiwa-jiwa halus lembut mereka. Apakah ini sebuah pemihakan? Jikapun ya, bukankah itu sangat mulia? Sebab para sastrawan adalah pencatat peristiwa. Adalah perekam sejarah. Adalah saksi zaman. Adalah corong penyambung suara-suara perih kehidupan.
Ide penulisan novel Lubang dari Separuh Langit ini bersumber dari persentuhan dan pergumulan Afrizal dengan rakyat miskin kota di Jakarta lewat aktivitasnya di UPC (Urban Poor Consortium). Seperti diakuinya, bahwa banyak pengalaman bersama mereka yang membuatnya mencium bau kehidupan lebih keras 1 cm di hidungnya. Walaupun cerita novel ini campur aduk antara realis dan surealis, namun kita tetap dapat menemukan jalan kembali ke topik utama. Mungkin karena Afrizal juga seorang penyair, maka novel ini bagaikan sebuah prosa yang puitis, meski berbeda dengan prosa liriknya Linus (Pengakuan Pariyem)
Afrizal memotret, merekam, dan menuliskan pengalamannya bergaul dengan para orang miskin tersebut melalui perspektif seorang perempuan bernama Candi, tokoh utama novel ini. Candi tak menempatkan dirinya sebagai pahlawan. Ia hanya ingin menjadi teman dan bagian dari keseharian masyarakat di bantaran sungai itu. Di sana, ia mengenal orang-orang malang yang mencoba bertahan hidup di kota setelah desa mereka tak lagi bisa memberi bahkan sekedar sesuap nasi. Di kota mereka bertarung melawan kerasnya dunia dengan menjadi tukang becak, pelacur, pengamen, pedagang asongan, buruh cuci, pemulung, preman. Karena kemiskinannya, mereka hanya bisa menghuni daerah sepanjang pinggir sungai sebagai tempat tinggal dengan membuat gubuk-gubuk kardus beratap seng-seng bekas.
Begitu sengsaranyapun, mereka masih pula harus dibayang-bayangi penggusuran oleh pemerintah kota yang tak rela kotanya berhiaskan kekumuhan. Kaum miskin adalah borok yang harus disingkirkan karena mengganggu keindahan. Gubuk-gubuk kardus itu harus lenyap berganti mal-mal megah. Becak-becak tak boleh ada sebab memalukan bangsa. Kendaraan zaman purba. Tak beradab. Tak manusiawi. Harus diganti dengan taksi atau kereta monorail supaya lebih bergengsi dan terhormat. Pada hal, di balik becak-becak yang ditangkap itu terdapat banyak keluarga penarik becak yang kehilangan sumber penghasilan dan mengancam kuantitas dan kualitas kehidupan mereka yang kian rendah (hal 39)
Saya jadi ingat sebuah berita di koran beberapa waktu lalu tentang seorang bapak penjual bubur ayam yang mati gantung diri saking putus asanya membayangkan penertiban oleh petugas trantib kota. Dia memilih mati dari pada harus hidup sebagai orang yang diburu-buru trantib setiap hari. Tragis! Demikian sulitnyakah hidup..?
Novel ini juga mengingatkan saya pada The City of Joy, karya Dominique Lappierre.
Ya memang sih, cerita semacam ini sudah terlalu sering kita baca. Namun, tak ada salahnya membaca sekali lagi tentangnya. Hitung-hitung sebagai pengasah kehalusan dan kepekaan nurani kita, sebab tanpa nurani apalah bedanya kita dengan hewan melata (dan tidak melata)? [*]

--Endah Sulwesi

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar